Pendidikan Lingkungan Hidup di Indonesia




Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) diIndonesia pada awalnya dilakukan oleh IKIP Jakarta pada tahun 1975. Pada tahun 1977/1978 rintisan Garis-garis Besar Program Pengajaran Lingkungan Hidup diujicobakan di 15 Sekolah Dasar Jakarta. Pada tahun 1979 di bawah koordinasi Kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup dibentuk Pusat Studi Lingkungan di berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta, dimana pendidikan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
Sampai tahun 2010, jumlah PSL yang menjadi Anggota Badan Koordinasi Pusat Studi Lingkungan telah berkembang menjadi 101 PSL. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional, menetapkan bahwa penyampaian mata ajar tentang kependudukan dan lingkungan hidup secara integratif dituangkan dalam kurikulum tahun 1984 dengan memasukkan materi kependudukan dan lingkungan hidup ke dalam semua mata pelajaran pada tingkat menengah umum dan kejuruan.
Tahun 1989/1990 hingga 2007, Ditjen Dikdasmen Depdiknas, melalui Proyek Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup melaksanakan program Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup; sedangkan Sekolah Berbudaya Lingkungan mulai dikembangkan pada tahun 2003 di 120 sekolah. Sampai dengan berakhirnya tahun 2007, proyek PKLH telah berhasil mengembangkan SBL di 470 sekolah, 4 LPMP dan 2 Pusat Pengembangan Penataran Guru.
Prakarsa Pengembangan Lingkungan Hidup juga dilakukan oleh LSM. Pada tahun 1996/1997 terbentuk Jaringan Pendidikan Lingkungan yang beranggotakan LSM yang berminat dan menaruh perhatian terhadap Pendidikan Lingkungan Hidup. Hingga tahun 2010, tercatat 150 anggota Jaringan Pendidikan Lingkungan yang bergerak dalam pengembangan dan pelaksanaan pendidikan lingkungan hidup.
Sedangkan tahun 1998 – 2000 Proyek Swiss Contact berpusat di VEDC (Vocational Education Development Center) Malang mengembangkan Pendidikan Lingkungan Hidup pada Sekolah Menengah Kejuruan melalui 6 PPPG lingkup Kejuruan dengan melakukan pengembangan materi ajar PLH dan berbagai pelatihan lingkungan hidup bagi guru-guru Sekolah Menengah Kejuruan termasuk guru SD, SMP, dan SMA.
Pada tahun 1996 disepakati kerjasama pertama antara Departemen Pendidikan Nasional dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup, yang diperbaharui pada tahun 2005 dan tahun 2010. Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan tahun 2005, pada tahun 2006 Kementerian Lingkungan Hidup mengembangkan program pendidikan lingkungan hidup pada jenjang pendidikan dasar dan menengah melalui program Adiwiyata. Program ini dilaksanakan di 10 sekolah di Pulau Jawa sebagai sekolah model dengan melibatkan perguruan tinggi dan LSM yang bergerak di bidang Pendidikan Lingkungan Hidup.
Sejak tahun 2006 sampai 2011 yang ikut partisipasi dalam program Adiwiyata baru mencapai 1.351 sekolah dari 251.415 sekolah (SD, SMP, SMA, SMK) Se Indonesia, diantaranya yang mendapat Adiwiyata mandiri : 56 sekolah, Adiwiyata: 113 sekolah, calon Adiwiyata 103 sekolah, atau total yang mendapat penghargaan Adiwiyata mencapai 272 Sekolah (SD, SMP, SMA, SMK) Se Indonesia. Dari keadaan tersebut di atas, sebarannya sebagian besar di pulau Jawa, Bali dan ibu kota propinsi lainnya, jumlah/ kuantitas masih sedikit, hal ini dikarenakan pedoman Adiwiyata yang ada saat ini masih sulit diimplementasikan.

Pendidikan Lingkungan Hidup di Indonesia

Di lain pihak Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 02 tahun 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Adiwiyata, belum dapat menjawab kendala yang dihadapi daerah, khususnya bagi sekolah yang melaksanakan program Adiwiyata. Hal tersebut terutama kendala dalam penyiapan dokumentasi terkait kebijakan dan pengembangan kurikulum serta, sistem evaluasi dokumen dan penilaian fisik .
Dari kendala tersebut di atas, maka dianggap perlu untuk dilakukan penyempurnaan Buku Panduan Pelaksanaan Program Adiwiyata 2012 dan sistem pemberian penghargaan yang tetap merujuk pada kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kemendikbud. Oleh karenanya diharapkan sekolah yang berminat mengikuti program Adiwiyata tidak merasa terbebani, karena sudah menjadi kewajiban pihak sekolah memenuhi Standar Pendidikan Nasional sebagaimana dilengkapi dan diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.19 tahun 2005, yang dijabarkan dalam 8 standar pengelolaan pendidikan.

Komentar saya mengenai artikel diatas yaitu:
Kendala yang dihadapi memang tidak mudah untuk dilalui, mengingat belum adanya tenaga kependidikan yang benar-benar terfokus untuk menjadi “guru khusus pendidikan lingkungan hidup”. Contohnya pada jenjang pendidikan dasar saja belum ada guru bidang studi pendidikan lingkungan hidup. Selama ini hanya guru kelas saja yang merangkap sebagai guru PLH. Dengan keadaan yang seperti ini guru kurang memahami tentang materi maupun pelaksanaan PLH itu sendiri. Kendala lain yaitu tidak adanya tes atau ujian tentang PLH di jenjang sekolah dasar. Karena keterbatasan kemampuan guru tersebut pula, peserta didik menjadi kurang tertarik dengan mata pelajaran PLH itu sendiri. Saran dari saya mungkin untuk kedepannya guru bidang studi PLH diadakan minimal satu orang di dalam satu sekolah terutama untuk sekolah dasar. Atau mungkin bisa dilakukan sosialisasi atau pelatihan-pelatihan terhadap semua guru (tidak hanya guru kelas saja) mengenai PLH. Agar materi PLH dapat terintegrasikan dengan baik dalam setiap mata pelajaran.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar